Advertisement

Responsive Advertisement

Agama dan Politik dalam Islam


Pembicaraan tentang hubungan antara agama dan politik dalam Islam dikalangan para cendekiawan muslim akan terus hangat dan tidak akan ada habis-habisnya. Hal ini disebabkan karena sumber bahasan yang melimpah sebagai buah limabelas abad sejarah akumulasi pengalaman dunia Islam dalam memangun kebudayaan dan peradaban. Selain itu, adanya dorongan untuk terus melakukan pembahasan tentang masalah tersebut karena dirasakan penting dan masih mempunyai relevansi dengan perkembangan zaman.


Pertanyaan mendasar yang sering muncul adalah bagaimanakah hubungan antara agama dan politik? Apakah keduanya saling bersinergi atau malah saling kontradiktif?
Salah seorang cendekiawan muslim modern yang memiliki consern (baca; konsen) dalam menyoroti hubungan antara agama dan politik dalam Islam adalah Dr.Yusuf Qardhawi. Beliau mengupas persoalan tersebut dengan sangat argumentatif dalam buku “ad-Diin wa as-Siyaasah Ta’shiil wa Radd Syubhaat ” dengan mengemukakan beberapa landasan epistemologis yang besumber dari al-Qur’an, hadis-hadis shahih, pendapat para ulama, nalar berpikir yang jernih dan fakta sejarah umat Islam.

Dengan landasan epistemologis tersebut, beliau menolak kerancuan (syubhuhaat) berpikir kelompok sekular yang menafikan peran serta agama (baca Islam) dalam ranah politik dan kehidupan sosial lainnya.

Hubungan Islam dan Politik; Sanggahan Terhadap Kelompok Sekular.

Fenomena sekularisasi dan liberalisasi yang terjadi pada peradaban barat yang kemudian diglobalkan ke seluruh dunia sebenarnya dapat ditelusuri dari proses sejarah panjang yang dialami oleh salah satu peradaban besar di dunia ini.

Dalam sejarah Kristen Eropa, kata “secular” dan “liberal” dimaknai sebagai pembebasan masyarakat dari cengkeraman kekuasaan Gereja, yang hegemonik di zaman Pertengahan. Proses berikutnya bukan saja dalam bidang sosial-politik, tetapi juga menyangkut metodologi pemahaman keagamaan. Proses sekularisasi-liberalisasi agama, kemudian diglobalkan dan dipromosikan ke agama-agama lainnya, termasuk Islam.

Menurut Yusuf Qardhawi, kelompok sekular mempunyai lima asumsi dasar yang menjadi sandaran untuk menafikan hubungan harmonis antara agama dan politik. Pertama, mereka tidak mengakui konsep syumuuliyah al-Islam. Islam sebagai agama hanya berperan dan berfungsi pada wilayah-wilayah individu dan ibadah saja.

Kedua, pemisahan sama sekali antara agama dan politik. Slogan mereka “tidak ada agama dalam politik dan tidak ada politik dalam agama (la diina fi as-siyaasah wa la siyaasah fi ad-diin). Menurut mereka, politik tidak tunduk kepada nilai-nilai dan prinsip-prinsip agama karena politik bertujuan pragmatis semata.

Ketiga, mereka menuduh kepada para aktivis atau kelompok muslim yang mempunyai perhatian serius kepada kondisi umat Islam sekarang dan berusaha membebaskan atau memerdekakan mereka dari belenggu kekuasaan asing yang mendikte sebagai upaya “politisasi agama”. Tuduhan tersebut mereka lontarkan kepada para intelektual muslim yang menyeru kepada umat untuk kembali kepada syariat Islam yang universal dan integral.

Keempat, mereka menyebarkan pemahaman keliru terhadap teks-teks agama, sehingga terkesan kontradiksi dengan politik dan banyak mengorbankan kemaslahatan umat. Syariat agama akan menjadi pengekang keleluasaan bergerak dan perkembangan politik.

Kelima, agama besifat tetap (tsaabit) sementara politik terus berubah dan berkembang. Dengan demikian, apabila urusan-urusan politik dan pemerintahan dikembalikan kepada agama maka akan terjadi kejumudan dalam kehidupan politik.

Yusuf Qardhawi membantah satu persatu kerancuan sandaran berfikir kelompok sekular di atas dengan argumentasi yang bersumber dari al-Qur’an, hadis-hadis shahih, logika berpikir yang kuat dan fakta sejarah umat Islam sejak masa yang paling awal.

Di antara sanggahan beliau adalah berkaitan dengan penolakan kelompok sekular tentang konsep syumuuliah al-Islam. Yusuf Qardhawi mengatakan bahwa konsep tersebut merupakan kesepakatan para ulama dan para pembaharu muslim. Bahkan, tambah Yusuf Qardhawi, pada masa modern ada usaha dari para pembaharu muslim untuk merealisasikannya dalam kehidupan politik praktis, seperti Khairuddin at-Tunisi, Jamaluddin al-Afghani, Muhammad Abduh, Rasyid Ridha, Hasan al-Banna di Mesir, Ibnu Badis di Aljazair dan al-Maududi di Pakistan.

Mereka melakukan hal itu karena berdasarkan empat alasan. Pertama, universalitas ajaran-ajaran Islam. Agama Islam yang diwahyukan oleh Allah swt. tidak meninggalkan satu sisi bidang kehidupan melainkan ada aturan syari’ah di sana. Ini berdasarkan firman Allah swt. yang berbunyi;

“Dan Kami turunkan kepadamu Al Kitab (Al-Qur`an) untuk menjelaskan segala sesuatu dan petunjuk serta rahmat dan kabar gembira bagi orang-orang yang berserah diri” .(Q.S. An-Nahl: 89).

Kedua, syariat Islam merupakan satu kesatuan yang tidak bisa dipisah-pisahkan. Artinya ajaran-ajaran agama Islam dan ketentuan-ketentuan hukumnya di dalam masalah aqidah, syari’ah, moral (akhlak), ibadah dan muamalah harus direalisasikan secara keseluruhan tidak bisa parsial karena saling terkait. Seperti resep seorang dokter kepada pasiennya yang dalam proses penyembuhan. Dokter menyarankan agar dia memakan makanan yang bergizi, meminum obat-obat tertentu dan pantangan dari beberapa makanan. Agar proses penyembuhan berjalan sempurna maka seorang pasien harus melaksanakan semua anjuran dokter tersebut.

Oleh karena itu, Allah swt. memberikan peringatan keras kepada Bani Israil yang mengimani kitabnya secara parsial dalam firman-Nya;

“Apakah kamu beriman kepada sebahagian Al Kitab (Taurat) dan ingkar terhadap sebahagian yang lain? Tiadalah balasan bagi orang yang berbuat demikian daripadamu, melainkan kenistaan dalam kehidupan dunia, dan pada hari kiamat mereka dikembalikan kepada siksa yang sangat berat”. (Q.S. Al-Baqarah: 85).

Imam ath-Thabari meriwayatkan bahwa ketika beberapa orang Yahudi ingin masuk Islam, namun mereka masih tetap berpegang kepada sebagian ajaran agamanya yang terdahulu Rasulullah saw. menolak mereka. Hal ini, berkaitan dengan ayat;
“Hai orang-orang yang beriman, masuklah kamu ke dalam Islam keseluruhan, dan janganlah kamu turut langkah-langkah syaitan.”
(Q.S. Al-Baqarah: 208).

Ketiga, tidak ada dualisme (matsnawiyyah) dalam kehidupan dan dalam diri manusia. Artinya, kehidupan ini merupakan satu kesatuan yang saling berkaitan dan saling menyempurnakan. Tidak mungkin kehidupan menjadi baik kalau Islam hanya diserahkan untuk mengelola sebagiannya saja, sedangkan bagian lainnya dikelola oleh pola pemikiran lain. Begitu juga, dengan diri manusia yang harus dilihat sebagai satu kesatuan yang utuh.

Keempat, negara atau kekuasaan politk sebagai sarana untuk merealisasikan tujuan-tujuan agama, tegaknya hukum-hukum Allah swt. di muka bumi, pendidikan masyarakat dan melindungi mereka dari kerusakan.

Apalagi, pada masa modern ini negara memiliki wewenang yang sangat kuat untuk mengatur semua sendi kehidupan manusia. Negara memegang tali kekang kehidupan sosial, politik, ekonomi, pendidikan, informasi dan bahkan Agama. Sehingga kekuasaan negara dapat menarik bidang-bidang tersebut melalui kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan keberbagai pola pikir yang mereka kehendaki.

Inilah yang menyebabkan para pembaharu dan para tokoh organisasi-organisasi gerakan Islam untuk terjun ke kancah politik. Mereka berusaha merealisasikan firman Allah swt.;

“(yaitu) orang-orang yang jika Kami teguhkan kedudukan mereka di muka bumi niscaya mereka mendirikan sembahyang, menunaikan zakat, menyuruh berbuat makruf dan mencegah dari perbuatan yang mungkar (Q.S.Al-Hajj: 41).

Hubungan Islam dan Negara

Representasi paling nyata dari hubungan yang harmonis antara Islam dan politik adalah terbentuknya sebuah negara yang dapat menjamin pelaksanaan dokrin-doktrin ajarannya dengan mudah.

Menurut Yusuf Qardhawi, pendirian sebuah negara merupakan salah satu bagian inti dari Islam (min shamiim al-Islam). Sedangkan pendapat lain yang berbeda dengan itu, menurut beliau merupakan pendapat baru yang tidak pernah dikenal sepanjang sejarah peradaban umat Islam.

Untuk memperkuat pendapatnya, Yusuf Qardhawi mengemukakan tiga buah argumentasi mendasar yang bersumber dari al-Qur’an dan hadis, sejarah dan karakter agama Islam itu sendiri.

Pertama, argumentasi yang bersumber dari al-Qur’an dan hadis. Di antaranya firman Allah swt. yang berbunyi;

“Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil.

“Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al-Qur`an) dan Rasul (sunnahnya)”. (Q.S. An-Nisaa’: 58-59).

Menurut Yusuf Qardhawi ayat pertama adalah perintah kepada para pemimpin dan pemegang kebijakan agar mereka dapat menjaga amanah yang dipercayakan kepada mereka dan dapat berlaku adil. Karena penyelewengan terhadap amanah dan keadilan merupakan tanda kehancuran umat. Rasulullah saw. pernah bersabda, “apabila amanah (kepercayaan) sudah disia-siakan maka tunggulah sa’at kehancuran.”

Ayat yang kedua adalah perintah kepada umat Islam untuk mentaati para pemimpin (ulil amri) yang berasal dari meraka. Ketaatan ini disandingkan dengan perintah taat kepada Allah swt. dan Rasul-Nya serta perintah untuk kembali kepada al-Qur’an dan hadis apabila terjadi perselisihan di antara mereka. Hal ini, mengasumsikan bahwa umat Islam memiliki sebuah negara yang melindungi dan para pemimpinnya ditaati oleh rakyat. Jika tidak maka perintah kedua ayat tersebut menjadi tidak bermakna.

Kedua, argumentasi yang bersumber dari sejarah umat Islam.
Hubungan antara agama dan negara dalam Islam, telah diberikan teladannya oleh Nabi saw. sendiri setelah hijrah dari kota Makkah ke kota Madinah. Dari nama yang dipilih oleh Nabi saw. bagi kota hijrahnya itu menunjukkan rencana beliau dalam rangka mengemban misi sucinya dari Tuhan, yaitu menciptakan masyarakat berbudaya tinggi, yang kemudian menghasilkan suatu entitas sosial-politik, yaitu sebuah negara.

Nabi Muhammad saw. selama sekitar sepuluh tahun di kota hijrah itu telah tampil sebagai seorang penerima berita suci dan seorang pemimpin masyarakat politik (kepala negara).

Setelah Rasulullah saw. wafat, kesibukan pertama yang terlihat dari para sahabat adalah mencari dan memilih pengganti beliau sebagai pemimpin mereka. Bahkan mereka lebih mendahuli membai’at Abu Bakar daripada memakamkan jenazah Rasulullah saw. yang terbaring selam tiga hari di kamar Siti A’isyah. Hal ini, menunjukkan betapa pentingnya mengangkat seorang pemimpin sebagai simbol sebuah negara dan tidak boleh sebuah negara terlalu lama kosong dari kepemimpinan.

Ketiga, argumentasi berdasarkan pada karakteristik agama Islam.
Islam adalah agama yang risalahnya lengkap dan integral mencakup berbagai bidang kehidupan dunia dan akhirat, mengatur hubungan antar individu dan kelompok, sosial dan politik, syariah dan muamalah. Karena itu, risalah Islam harus masuk dan menghiasi seluruh sendi kehidupan manusia. Negara merupakan salah satu sarana terpenting untuk merealisasikan tujuan tersebut.

Islam dan Demokrasi

Pada hakikatnya tujuan tertinggi dari demokrasi adalah kesejahteraan rakyat, namun pada tataran praktiknya sentiasa mengalami berbagai penyesuaian dan perubahan.




Menurut Yusuf Qardhawi, berkaitan dengan tema hubungan antara Islam dan demokrasi terdapat tiga kelompok besar yang saling berbeda dalam menyikapi tema tersebut. Pertama, kelompok yang menolak demokrasi. Menurut mereka demokrasi adalah pemikiran kufur yang haram untuk diamalkan oleh kaum muslim. Kedua, kelompok yang menerima demokrasi dengan segala makna yang terkandung di dalamnya sekulerisme, liberalisme, kapitalisme dan kebebasan politik secara mutlak tanpa ada norma-norma yang membatasinya. Ketiga, kelompok moderat yang mengambil jalan tengah di antara dua kelompok tersebut di atas. Mereka berpandangan bahwa ada nilai-nilai esensi dari demokrasi yang sejalan dengan ajaran-ajaran Islam.

Demokrasi tidak menjadi tercela karena semata-mata dia produk pemikiran manusia dan hasil infor dari negara barat yang kufur. Namun yang perlu diperhatikan adalah apakah hasil pemikiran itu kontradiksi dengan nilai-nilai agama atau tidak?

Yusuf Qardhawi, cenderung kepada kelompok ketiga dan beliau mengatakan bahwa demokrasi yang kami maksud adalah demokrasi politik yang salah satu esensinya rakyat dapat memilih pemimpin untuk dirinya sendiri. Tidak ada paksaan untuk memilih pemimpin yang tidak mereka sukai. Rakyat juga mempunyai sarana untuk menyampaikan saran dan kritik kepada pemimpin yang mereka pilih dan dianggap telah menyimpang. Bahkan mereka memiliki kekuatan untuk menjatuhkan impeachment dan melengserkannya dari kursi kepemimpinan.

Yusuf Qardhawi memperkuat kecenderungannya kepada pendapat kelompok ketiga yang moderat dengan mengemukakan tiga argumentasi yang mempertalikan esensi demokrasi dengan nilai-nilai agama Islam. Beliau menyebutnya dengan syar’iyyah dimoqrathiyyah.

Pertama, syar’iyyah dimoqrathiyyah dapat menolak penguasa yang diktator dan otoriter dalam memimpin. Penguasa yang diktator adalah penguasa yang berlaku sewenang-wenang kepada rakyatnya. Seperti, Allah swt. mengecam kepemimpinan raja Namruz, Firaun dan lainnya.)

Kedua, syar’iyyah dimoqrathiyyah mengikuti suara mayoritas dan kelompok terbesar. Berkaitan dengan hal ini ada beberapa hadis yang menyeru kepada kaum muslimin untuk mengikuti suara mayoritas dan kelompok terbesar (as-sawaad al-a’zham), seperti hadis riwayat imam Ahmad dan al-Hakim.
Argumentasi yang ketiga, shalat dibelakang seorang imam yang dibenci hukumnya tidak syah. Berkaitan dengan masalah ini terdapat hadis Rasulullah saw. yang diriwayatkan oleh imam Ahmad ra. yang berbunyi;

“Ada tiga orang yang shalatnya tidak diterima oleh Allah swt. Pertama, seseorang yang menjadi imam sebuah kaum sedangkan kaum tersebut benci kepadanya. Kedua, seorang istri yang tidur sedang suaminya marah kepadanya. Ketiga, dua orang yang saling bermusuhan”.

Maknanya, seorang pemimpin (imam) shalat harus orang yang disukai oleh ma’mumnya. Lalu bagaimana dengan kepemimpinan umat (negara) yang mencakup urusan dunia dan akhirat? Semestinya, hubungan antara pemimpin dan rakyatnya adalah hubungan yang saling percaya dan saling mencintai bukan hubungan saling membenci dan saling mencaci, seperti yang biasa terjadi pada penguasa yang otoriter dan diktator yang memerintah dengan sewenang-wenang. Wallahua’lam.


Al faqir ila afwi Rabbih
Ust. Kunaevi Sanusi, S,Ag

Post a Comment

0 Comments