Advertisement

Responsive Advertisement

Realita Sejarah dan Realita Aktual

Realita Sejarah
Pondok Pesantren pada awalnya berdirinya mempunyai pengertian yang sederhana sekali, yaitu tempat murid-murid mempelajari pengetahuan agama Islam di bawah bimbingan seoranh guru (kyai atau ulama). Biasanya murid-murid itu tinggal dirumah gurunya/kyai dan berbaur bersama masyarakatnya dalam menyelesaikan berbagai problema.
Menurut catatan sebagian ahli sejarah, Pondok Pesantren yang pertama di indonesia didirikan oleh salah seorang Wali Songo, yaitu Sunan Raden Rahmat Di Ampel Surabaya. Kemudian Menyusul Pesantren di desa Glabah Wangi Bintaran Demak, yang didirikan oleh Raden Fatah sekitar abad kelima belas. Tujuan mendirikan Pondok Pesantren adalah untuk menyiapkan murid-murid dalam menguasai ilmu agama Islam (Tafaqquh Fiddin). dan siap menyebarkan agama Islam atau mendirikan pesantren baru untuk menyiapkan dan sekaligus memperbanyak jumlah kader dakwah Islamyah.
Dalam perkembangan selanjutna, pondok pesantren  di Indonesia memperlihatkan jati diri sebagai lembaga pendidikkan tradisional yang khas dengan ke-Islamannya dengan ciri-ciri sebagai berikurt :

  1. Kyai yang mengajar dan mendidik.
  2. Santri yang belajar kepada kyai.
  3. Masjid untuk sholat berjama'ah dan tempat menyelenggarakan pendidikkan dan sebagainya.
  4. Pondok sebagai asrama tempat untuk tinggal para santri.
Sesuai dengan tujuan utamanya, yaitu untuk mendalami ilmu pengetahuan agama, maka materi yang diajarkan di pondok pesantren semuanya terdiri dari materi agama yang di gali langsung dari kitab-kitab klasik berbahasa arab yang di tulis para ulama yang hidup para sekitar abad pertengahan. Sistem yang lazim di pergunakan dalam proses mengajar di pondok pesantren lebih di kenal dengan sistem wetonan, sorongan dan bandungan.
Semejak perang kemerdekaan, terjadi perubahan-perubahan mendasar dalam sistem pendidikan dan pengajaran di Indonesia. Tidak terkecuali di dunia pesantren. Di antara perubahan itu misalnya, dalam beberapa pondok pesantren mulai diperkenalkan sitem  klasikal dan bentuk madrasah dalam proses belajar menajar dengan di selenggarakannya madrasah di lingkungan pondok pesantren terjadilah perubahan pengertian, dimana pondok pesantren tidak lagi sepenuhnya tergolong pendidikkan jalur luar sekolah, tetapi juga masuk jalur sekolah.
Dalam dua dasa-warsa terakhir ini, di dalam lingkungan pondok pesantren di samping madrasah di selenggarakan  pula sekolah-sekolah umum dan perguruan tinggi. Demikian pula dikembangkan program-program pengembangan masyarakat oleh beberapa Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM). Dengan dikembangkannya program-program pengembangan masyarakat ini, ada sementara pihak yang menggolongkan pondok pesantren sebagai lembaga sosial kemasyarakatan.

Realita Aktual
  1. Macam-macam Pesantren.
  2. Dengan semakin maraknya dunia pesantren sebagai sebuah pola pendidikkan ideal dan dinamis, sesuai dengan tuntutan Zaman dan dengan berbagai perubahan yang terjad, maka standar pesantren dewasa ini adalah bercirikan   sebagai berikut :
    1. Kyai yang mendidik dan mangajar di bantu oleh beberapa guru bidang studi.
    2. Santri, siswa yang belajar.
    3. Masjid untuk Sholat berjama'ah.
    4. Sekolah sebagai tempat menyelenggarakan pendidikkan.
    5. Pondok sebagai asrama tempat untuk tinggal para santri.
    Selanjutnya pengertiandan tujuan utama penyelenggaraan pondok pesantren dewasa ini,dengan berbagai perubahan yang terjadi dalam sistem pendidikan adalah tetap merupakan lembaga pendidikkan Islam (Tafaqquh Fiddien). Masuknya program-program pengembangan masyarakat, ketrampilan, pendidikan umum, sekolah tinggi dan lain-lain, hanya merupakan pelengkap dari pendidikan pondok pesantren. Kalau masuknya program-program baru itu menggeser tujuan pokok pondok pesantren sebagai lembaga Tafaqquh fiddien atau paling tidak menghilangkan sama sekali peranan kyai dalam membina mental santri, maka lembaga tersebut tidak layak lagi disebut pondok pesantren. Melihat perubahan seperti itu maka dapat di batasi definisi pondok pesantren adalah sebagai ' Lembaga Pendidikkan Agama Islam yang diasuh seorang kyai dan atau yayasan atau organisasi dengan sistem asrama'. Pengajaran  berlangsung dalam bentuk pengajian wetonan/ sorogan atau dalam bentuk sekolah/ madrasah dengan masa belajar yang di sesuaikan dengan jenis dan tingkatan sekolah atau program kitab yang diselesaikan serta menjadikan masjid sebagai pusat kegiatan. Bahkan dalam hal ini perkembangan Pondok Pesantren yang dapat kita saksikan terbagi kepada 4 tipe, yaitu :
    • TIPE A : Pondok Pesantren di mana para santri belajar dan bertempat tinggal di asrama di lingkungan pondok pesantren dengan pengajarannya yang berlangsung secara wetonan atau sarogan.
    • TIPE B : Pondok pesantren yang menyelenggarakan pengajaran secara klasikal (Madrasah) dan pengajaran oleh kyai bersifat aplikasi dan di berikan pada  waktu yang sudah di tentukan. para santri  bertempat tinggal di asrama lingkuangan pondok pesantren.
    • TIPE C : Pondok pesantren yang hanya merupakan asrama, sedangkan para santriwan nya belajar di luar (di madrasah atau sekolah umum) dan kyai hanya merupakan pengawas dan pembina mental para santri tersebut.
    • TIPE D : Pondok Pesantren yang menyelenggarakan sistem pondok dan sekaligus sistem sekolah dan madrasah.   
    • Pengertian dan Tujuan Pengajian Kitab Kuning.
    • Istilah kitab ditambahi dengan kata 'kuning' di belakang nya (menjadi kitab kuning) untuk menunjukkan bahwa yang di maksud adalah kitab-kitab kuno yang menguning karena termakan usia. Diajarkannya kitab kuning di pesantren-pesantran, bertujuan untuk mendidik santri-santri calon ulama. Atau sekurang-kurangnya, untuk  memperdalam rasa keagamaan bagi para santri yang tinggalnya di pesantren cukup singkat. seperti ketika bulan romadhan. ada kebiasaan khataman, pengajian kitab sebulan penuh dengan mengkhatamkan kitab-kitab tertentu. Tidak jarang ada santri yang masukke pesantren dan tinggal hanya satu ramadhan itu saja untuk ikut khataman tersebut.
    • Cabang-cabang Ilmu (Fann) Kitab Kuning.
    • Kitab-kitab kuning yang diajarkandi pesantren secara keseluruhan dapat di golongkan kedalam delapan kelompok cabang ilmu, yaitu : a). Nahwu (syntax) dan Sarraf (marfologi). b).Fiqih.  c). Usul Fiqih d). Hadist.  e). Tafsir.  f). Tauhid.  g). Tasawuf dan Etika. h). Cabang-cabang lain seperti sejarah Islam (Tarikh) dan Retorika (Balaghah).
      Walaupun tiap-tiap pondok pesantren sepakat menggunakan kitab kuning sebagai turujukan intelektualnya, tetapi satu sama lain tidak bersepakat tentang kurikulum. Karena hal tersebutlebih ditentukan oleh para kyai, atas pertimbangan, kecenderungan, selera dan pengalaman belajar-mengajar para kyaiitu sendiri. Lain pesantren lain kyai, dan lain kyai lain pula kurikulum. 
      Namun demikian, kitab-kitab yang di kaji pada tiap-tiap pondok pesantren bisa di golongan menjadi kitab kecil, kitab menengah dan kitab besar. Secara bertahap dan bertingkat, pengajian di mulai dari kitab kecil. Biasanya adalah kitab-kitab ilmu alat (Nahwu-Saraf) dan kitab-kitab Fardu'ain (Fiqih dan Tauhid), dilanjutkan dengan kitab-kitab menengah pada cabang ilmu yang sama. Terakhir kitab-kitab besar dengan cabang ilmu yang sama pula tapi makin luas dan di tambah dengan cabang ilmu baru, dalam arti belum di ajarkan sebelumnya seperti kitab-kitab Tafsir, Hadits, Balaghah dan lain-lain. untuk semua cabang-cabang ilmu itu, baik kitab-kitab kecil , menengah maupun yang besar, ada kitab-kitab standar yang umum diajarkan pada hampir setiap pesantren.  
      Dalam Mengajarkan kitab-kitab tersebut, para kyai dibantu para asatidz (guru-guru), baik sebagai asisten pada saaat kyai tidak mengajar, maupun sebagai pengajar tetapuntuk kitab-kitab tertentu yang kecil dan tingkat mendasar. Bagi para santri pemula, biasanya diharuskan belajar pada para asatidz terlebih dahulu. Baru selepasitu dapat langsung velajar pada kyai. Yang demikian ini, umumnya dilakukkan oleh pesantren-pesantren besar dengan jumlah santri yang besar pula. Tidak seperti pesantren kecil dengan sedikit santri yang seluruh pengajiannya langsung diasuh oleh para kyai. 
      Dimasa lalu, pengajian kitab oleh para kyai ataupun para asatidz diselenggarakan di masjid (surau/langgar), Selepas shalat berjama'ah lima waktu. karena itu bagi pesanteren keberadaan masjid merupakan sarana paling vital di samping sebagai pusat kegiatan keilmuan. Tetapi perkembangan berikutnya, fungsi central masjid terkurangi setelah masuknya sistem klasikal (madrasah) ke pesantren. Madrasah, menjadi pusat keilmuan kedua setelah masjid. Bersamaan dengan itu, pembagian tugas antara kyai dan asatidz dalam hal mengajar didasarkan pada sistim masjid-Madrasah itu juga. Kyai menyelenggarakan pengajian di masjid sementara para asatidz menyelenggarakannya di madrasah. Pengajian di masjid diikuti oleh semua santri, sementara madrasah diikuti menurut kelas dan tingkatnya.
      Apa yang diajarkan di masjid adalah sama dengan yang di ajarkan di madrasah, sama-sama  diajarkan kitab-kitab ini. bahkan lebih dari itu, atas dasar pertimbangan efektifitas dan efesiensi madrasah mulai di kembangkan lebih jauh lagi. Sehingga kedudukan madrasah bersifat lebih dominan dibanding Masjid (dalam arti sebagai pusat kegiatan keilmuan). Berbeda dengan di masji, pengajaran kitab kuning di madrasah mengikuti cara-cara pendidikan modern. Misalnya, komunikasi guru-murid berlangsung secara inter-personal, ada evaluasi, kenaikan kelas, kurikulum dan semacamnya. 
      Khusus untuk pesantren-pesantren tertentu, madrasah di kembangkan sedemikian luas, tidak saja mengajarkan kitab kuning, melainkan juga mengajarkan kitab-kitab lain (ilmu-ilmu baru). Hal ini dilakukan dengan membuka dengan berafiliasi pada kurikulum Pemerintah, yakni ; Departemen Agama dan Depdikbud. Namun demikian, ada pula sebagian pondok pesantren yang madrasahnya telah berafiliasi pada kurikulum pemerintah tidak secara keseluruhan. Yaitu dengan cara menggolongkan bidang-bidang pelajaranpada kurikulum pemerintah itu menjadi dua kelompok: bidang pelajaran agama, kitab kitab putih bacaannya di ganti dengan kitab-kitab kuning. Misalnya bukubacaan untuk al-Quran - Hadits diganti dengan kitab-kitab tafsir dan kitab-kitab hadits, sedangkan untuk bidang pelajaran umum, tetap dipakai buku bacaan kurikulum yang ada. 
      Sikap pesantren seperti itu memperjelas kesetiannya terhadappenggunaan kitab kuning sebagai warisan para ulama dan cendikiawan muslim masa lampau. Ini tidak lain adalah dalam rangka melestarikan ilmu-ilmu keislaman dari ancaman kepunahan.

      Post a Comment

      0 Comments