Advertisement

Responsive Advertisement

Konsep Pesantren Masa Depan

Melihat tujuan didirikannya pesantren adalah menyiapkan dan memperbanyak kader dakwah demi mempertahankan keberlangsungan kehidupan Islam, maka lembaga ini senantiasa harus disiapkan untuk dapat melahirkan da'i, ulama zamannya handal dan siap pakai.
Ada beberapa faktor yang perlu pengembangan total dalam pondok pesantren masa mendatang, di mana masing-masing faktor ini sangat erat, saling terikat dan menunjang. Sebab para realitanyakini faktor-faktor tersebut menyimpan kelemahan yang masih menjadi problem dan penghambat lajunya sebuah pesantren. Sehingga dia termarginalkan dari beberapa lapisan 

Lembaga dan masyarakat yang semakin maju ini . maka dari model pengembangan ini diharapkan pondok pesantren dapat berdiri tegak dan diterima oleh semua lapisan masyarakat indonesia dan terlebih umum lagi umat islam sedunia . untuk itu setidak-tidaknya ada empat faktor utama yang perlu dikembangkan.

  1. Membangun Pondok Model Lingkungan Hidup ( KOTA PESANTREN )
  2. Jika kita fahami kata 'pondok ' adalah sebuah tempat tinggal untuk beberapa waktu, dan 'pesantren ' adalah santri-santri yang tinggal dipondok untuk menuntut ilmu, Pondok pesantren berarti tempat atau lembaga yang didirikan untuk menyelenggarakan pendidikan bagi para santri atau murid yang sedang menuntut ilmu dan pengetahuan. Maka merupakan konsekuensi logis pondok pesantren senantiasa dituntut untuk melakukan perubahan-perubahan menurut yang yang diperlukan zamannya baik dari segi bangunan fisik, sistem, struktur dan kurikulumnya. Kalau pada permulaan lahir nya pondok pesantren , para santri bertempat tinggal dirumah-rumah kyiai. Hal itu disebabkan kondisi pada saat itu lebih memerlukan kader-kader dakwah, Baru pada perkembangan selanjutnya pondok pesantren menunjukan kemajuan dengan berdirinya pondok-pondok/ asrama-asrama sebagai tempat tinggal para murid dan santri . Sehingga sampai saat ini bangunan fisik pondok pesantren tersebut menjadi standar dan ciri baku.  Namun setelah dunia semakin maju , pondok-pondok santri pun masih dituntut untuk melakukan pengembangan. Berbagai type pesantren yang berkembang dewasa ini-pun tidak banyak membawa perubahan konkrit.Maka type yang tepat untuk kondisi sekarang ini adalah bukan lagi type pondok akan tetapi model 'KOTA'. Dimana bangunan fisiknya berbentuk lingkungan hidup., Berbentuk kota atau Madinah yang terdiri dari bentuk dari bangunan pondok-pondok, seperti barisan bangunan pemukiman, perumahan nasional atau tak ubahnya seperti sebuah dusun yang berfasi litas lengkap. Oleh sebab itu definisi pondok pesantren -pun harus disempurnakan dan disesuaikan dengan mental kota.Maka definisi 'Kota Pesantren' adalah sebuah kota pendidikan agama islam yang terdiri di atas tanah waqaf dan diasuh seorang kyiai yang dipilih umat dengan sistem perumahan dan lingkungan. Pengajarannya berlangsung dalam bentuk pengajian pesantren atau dalam bentuk sekolah / madrasah dengan masa belajar yang disesuaikan dengan jenis dan tingkatan sekolah atau program kitab yang disesuaikan serta menjadikan masjid sebagai pusat kegiatan.  Jadi bukan pondok pesantren lagi melaikan kota pesantren. Kota dimana didalamnya terdapat bangunan asrama-asrama persis seperti perumahan yang dilengkapi dengan gedung sekolah,kantor, rumah-rumah guru/Kyiai/Ulama,pasar swalayan,bank,rumah sakit dan kebutuhan kota lainnya.  Batas daerah kota pesantren ini pun tidak tertutup dindng-dinding tinggi dan tebal sehingga tampak seperti sebuah penjara suci saolin yang memisahkan antara kehidupan santri dan kehidupan masyarakat nyata . Namun kota ini hanya dibatasi oleh pagar kawat sebagai batas tanah saja . Sehingga para santri yang mukim didalamnya merasa menjadi bagian dari masyarakat lingkungannya dan dapat memandang langsung semua kegiatan hidup sekitarnya.yang pada akhirnya diharapkan mereka mampu beradaptasi dan berinteraksi dengan baik dalam menyebarkan dakwah islam.  Sebab menurut asumsi penulis pada dekade belakangan ini jebolan pondok pesantren ala penjara suci dirasakan kurang mampu lagi menjadi katalisator umat dan pengentrol sosial seperti yang dilakukan oleh jebolannya dimasa lalu . Mereka kini kurang memahami perkembangan dan tuntutan masyarakat modern. Karena gaya hidup yang dialaminya dalam pesantren masih cenderung ankondusif dan terputus dari realita kehidupan masyarakatnya,tidak seperti santri generasi pertamanya. Dimana mereka berbaur dengan masyarakat bersama-sama gotong-royong dalam menyelesaikan berbagai problem bersama.  Adapun moral dan kepribadian santri itu tidak dapat ditentukan oleh dinding yang tinggi dan rapat . Namun sangat bergantung kepada pembinaan, pengkaderan diri yang mapan dan kontinu serta pendidikan keagamaan secara universal dan integral . Tidak ada dalam kamus pendidikan dan psikolgi perkembangan manapun yang mengatakan bahwa untuk mendidik anak-anak agar tumbuh menjadi manusia yang baik dan punya integritas pribadi yang baik pula, mereka harus dipenjara didalam pondok dan dibebankan dengan seabrek peraturan.Namun justru melalui ketauladanan, pembinaan yang baik dan menciptakan lingkungan sehat, pribadi anak akan tumbuh dengan baik dan lurus.  Salah satu alternatif jitu untuk menciptakan lingkungan sehat dan memudahkan pembinaan umat adalah pesantren ala madinah atau kota. Diman mereka dapat hidup dengan leluasa, nyata dan percaya diri dalam mengamalkan , mengaplikasikan syariat islam sekaligus melihat kasus-kasus kehidupan masyarakat lingkungannya serta mencarikan solusinya. 
  3. Merehabilitisir Konstitusi Pondok Pesantren
    • Menghilangkan ide dinasti Ulama
    • Pada awal berdirinya pesantren ditangan generasi islam pertama tidak ada ide dinasti buyut ulama,Pesantren adalah tempat pendidikan murid-murid untuk mempeljari pengetahuan agama islam dibawah bimbingan seorang guru ( kyiai atau ulama ). Setiap lulusan pesantren yang layak menjadi Kyiai yang pada gilirannya nanti diwajibkan membangun pesantren untuk melanjutkan penyebaran dakwah islam. Demikian seterusnya. 
      Sebagai da'i,seorang ulama sebelum mendidik orang lain,mereka memperioritaskan anak dan keluarganya sehingga boleh jadi di pesantren tersebut selanjutnya dipegang oleh keluarga besar kyiai . Akhirnya lembaga ini kerap menjadi semacam ajang rebutan kekuasaan dalam keluarga itu . Maka pesantren-pesantren yang tersebar diindonesia tampak seperti kerajaan-kerajaan Islam kecil yang memiliki batas kekuasaan dan pengaruh masing-masing. Dan sudah menjadi budaya mereka dalam setiap kerajaan,kyiai merasa berkewajiban mengikat kerabat terhadap keluarga kerajaan kyiai lainnya demi keutuhan dakwah dibawah dinasti keturunannya. 
      Disamping melihat sejarah berdirinya bahwa pesantren dimulai oleh keluarga kerajaan dan masyarakat jawa dalam hal ini sangat dekat dengan ide kerajaan, kepemimpinan turun-temurun, maka boleh jadi mereka lebih mudah menerima seorang kyiai yang datang dari keluarga yang turun temurun dan dari dinasti kyai itu sendiri. Pada permulaan perkembangannya memang sangat kondusif, namun ketika manusia semakin dewasa dan kritis , disamping ide kebangsawanan, keturunan ningrat mulai pupus, juga keluarga kyiai sudah banyak yang kurang mendalami pengetahuan agama. maka bermunculan dari kalangan lain secara individu atau kelompok membangun pesantren , seperti munculnya yayasan dan organisasi pendidikan. 
      Namun demikian mental dinasti masih menghantui bangsa indonesia secara umum. Problem warisan kepemimpinan turun-temurun masih berlangsung sulit dinetralisir, meskipun belakangan motif utamanya adalah materi, namun problem nya mirip saja. Oleh sebab itu harus ada tindakan koperatif dan protektif dalam faktor ini, yaitu merehabilisir konstitusi, struktur atau kepengurusan pondok pesantren . Maka kepemimpinan pesantren harus diserahkan kepada siapa saja yang berkompeten, kapabel, mendalam ilmu dan amalnya, tinggi moral dan akhlaqnya . Kelembagaan ini harus berupa waqaf ummat islam, milik umat islam yang diatur oleh aturan-aturan tertentu menjadi sebuah lembaga independen .
    • Struktur Kepengurusan Pondok Pesantren Ideal
    • jika Bangunan fisik pondok pesantren sudah berbentuk model lingkungan, tidak ekslusif dan cenderung terbuka, memiliki interaksi kuat terhadap masyarakat dan sosio-politik , maka bentuk kepengurusan pun harus disesuaikan . Yaitu sebuah kepengurusan independen yang diatur oleh undang-undang tertentu dan dimiliki oleh semua umat bukan individu atau kelompok tertentu. Sehingga yang akan duduk di kursi Kyiai/ Pengasuh dan kepengurusan ini adalah siapa saja dari tengah-tengah umat yang kapabel, alim dan mencukupi syarat. 
       
      Adapun ciri-ciri struktur ideal secara garis besar sebagai berikut : 
      a.   Membentuk dewan Pengarah Tertinggi (DPT) (Majlis Syuyukh), terdiri dari Ulama besar dan dari berbagai daerah yang mencukupi syarat.Salah satu tugasnya memiliki Syekh/Kyai sebagai pengasuh kota pesantren ini. Majlis ini dapat dilengkapidengan berbagai kepala bagian seperti, bagian yang menangani waqf, zakat, fatwa, penelitian ilmiah, perpustakaan dan aliran Islam atau sesuai kebutuhan.
       
      b.  Membentuk Dewan Pelaksana (DP). Dewan ini dipimpin oleh seorang Kyai/Pengasuh kota pesantren dan dipilih oleh DPT berdasarkan dengan syrat-syarat tertentu. DP ini dapat membawahi : pimpinan Majlis Dakwah, Direktur Pendidikan, Rektor Perguruan Tinggi serta Pimpinan Pengembangan social dan lain-lain sesuai kebutuhan. Maka ciri dari kota pesantren ini tidak berbeda dari ciri pesantren itu sendiri, sebab ia merupakan pentathwiran (pengenbangan) dan penyempurnaan saja. Yaitu: 
      1.    Kyai sebagai pimpinan umum dibantu dengan Kyai/Ulama/Ustadz/Sarjan lain. 
      2.    Santri/ Siswi, Mahasiswa yang belajar. 
      3.    Masjid untuk shalat berjama’ah lengkap dengan gedung serba guna lainnya. 
      4.    Sekolah, majlis, kampus dan lain-lain sebagai tempat menyelenggarakan pendidikan. 
      5.    Perumahan sebagai pondok/ asama tempat untuk tinggal para santri dan kebutuhan kesejahtraan lainnya. 
      6.    Fasilitas lain sebagai kebutuhan pendidikan, dakwah dan lain-lain.  
       
    • Menyelenggarakan Satuan pendidikan yang relevan.
    • Sitem pendidikan yang diselenggarakan di pesantren dituntut untuk senantiasa dapat menjawab segala tuntutan dan tantangan zaman. Sebab pesantren bukanlah sebuah lembaga yang serata dengan tingkat SLTA, seperti yang diklaim sebagian orang yang kurang paham terhadap perkembangan lembaga ini.Penyelenggaraan pendidikan pesantern dapat disusun atas beberapa bentuk satuan pendidikan. Sekalipun secara keseluruhan pesantren merupakan satuan pendidikan pesantren itu sendiri, namun di dalamnya sesuai dengan perkembangan pesantren, dibentuk beberapa satuan terdiri dari program pengajian kitab dan penyelenggara pendidikan formal, serta sejumlah kegiatan penunjang lainnya. Sebab pesantrn adalah sebual lembaga tafaqquh fiddin, maka sejak berdirinya dimaksudkan untuk menciptakan, mengkader calon ulama, da’i yang handal, yang mampu memjadi katalisatordan pengontrol social di masyarakat. Hal ini tidak akan berhasil jika pesantren hanya disudutkan sebagai sebuah tingkat pendidikan tertentu. Oleh karena sistem pendidikan yang diselenggarakan harus menunjukkan segala satuan pendidikan yang berlaku, bahkan harus menyelenggarakan segala ke giatan pendidikan dan pengajaran dari berbagai tingkatan rasional. Atau dengan kata lain menyelenggarakan berbagai jalur pendidikanbaik jalur sekolah seperti: pendidikan tingkat dasat, Tengah , Atas, Perguruan Tinggi jurusan agama dan umum, dan jalur luar sekolah seperti: tahfidz al-qur’an, kursus-kursus, latihan keterampilan, dan segala pentuk proses pendidikan dan pengajaran diselenggarakan dengan baik. Demikian halnya dengan sember daya manusia, tenaga pengajar pesantren juga harus disesuaikan dengan disiplin ilmu yang dikembangkanm. Sebab tidak sedikitr pimpinan tunggal pesantern lemah berlindung di balik ide berokah yang kosong. Sehingga melahirkan lulusan-lulusan yang jumud dan terbelakang. Konotasi ungkapan “Berilmu itu tidak perlu banyak, biar sedikit asal manfa’at” semestinya menjadi motto menggali ilm sedalam-dalamnya dan sebanyak-banyaknya. Bukan malah disalah artikan menjadi tidak perlu  menuntut ilmu banyak. Bagaimana dapat membawa manfa’at untuk diri dan masyarakatnya yang semakin maju jika lulusan pesantren berilmu pengetahuan dangkal. Sebab keikhlasan saja tidak dapat menjawab tantangan zaman jika ilmunya memprihatinkan.
    • Pengembangan Kurikulum Pesantren
        • Pengembangan Pengajian Kitab Kuning
        • Dewasa ini, setelah dunia mengalami perubahan demi perubahan yang berlangsung sedimikian cepat, banyak kalangan pesantren menilai perlunya pengembangan kitab kuning. Bukan saja karena kitab kuning elah kurang isa mengakomodasikan an menjawan persoala-persoalan akibat perubahan tersebut, jika keilmuan kitab kuning dirasakan sangan lamban (jika tidak mau disebut mandeg) dibandingkan dengan ilmu social dan budaya. Untuk itu, setidaknya ada tiga aspek prioritas yang perludikembangkan, yaitu:
          1. Pengembangan Materi.
          2. Sejauh ini, Materi-materi pengajian di pesantren cenderung menitik beratkan pada orientasi ‘ubudyah. Dalam arti, bahwa ktab-kitab yang diaji di pesantren-pesantren lebih mengacu pada hak-hal praktis dan terapan, berupa amalan-amalan sehari-hari dengan sama sekali melupakan orientasi ilmiah yang mengacu pada perluasan dan penyebabnya wawasan. Nahwu, shorof, fiqih dan tasawwuf adalah bidang-bidang keilmuan yang mendapatkan secara penuh dari kalangan pesantren.. sedangkan sejarah islam Tarikh Tasyri’Usul fiqih, Usul Tafsir, ilmu Mantiq, Tafsir Al-Qur’an dan Muqaranatul Madzahib (perbandinga Madzahab), ilmu-ilmu retorika kurang mendapat perhatian sebagaimana mestinya. Dengan sendirnya, orientsi demikian berdampak pada lamanya kreatifita. Misalnya dalam penerapan dalam hokum fiqih, bila telah dihadapkan dengan realita social budaya, keilmuan dan teknologi konteporer. Fiqih, kemudian dicetuskan semata-mata sebagai ‘produk’ serta bukan sebagai ‘proses’. Dampak lain yang paling terasa adalah sulitnya melakukan reaktulisasi kitab kuning melalui pemahaman secara kontekstual. Maka pengembangan materi ini dapat diungkap secara sistimatis sebagai Berikut:
            • Meningkatkan orientasi ilmiah demi memperluas dan mengenbangkan wawasan.
            • Meningkatkan perhatian pesantren terhadap sejarah islam, ushul fiqh, ushul tafsir, perbandingan madzhab dan ilmu-ilmu retorika.
            • Menjadikan fiqih disamping sebagai ‘produk’ sekaligus sebagai ‘proses’ budaya, sehingga dapat melakukan reaktulisasi kitab-kitab melalui pemahaman kontekstual.
            • Meningkatkan orientasi umudiyah yang tebina berdasarkan kedalam ilmu agama, bukan sekedar formalitas kebiasaan.
          3. Pengembangan Metode.
          4. Pengajian kitab kuning di pesantren, berlangsung dengan dua cara, yaitu: cara ‘sorogan’ dan cara ‘bandungan’. Cara sorogan adalah pengajaran yang dengan satu persatu. Para santri menghadap pera Kyai dengan membawa kitab tertentu. Beberapa badis dai kitab-kitab itu dibaca dan di maknakan (diterjemahkan kata-perkata) oleh kyai. Kemudian seusai itu, si santri menirukan membaca dengan berulang-ualang. Setelah itu, maju para santri yang lain, dan begitu seterusnya. Adapun cara bandungan para santri tidak menghadap Kyai satu persatu, melainkan semuanya (sebanyak 200 sampai 500 santri, bahkan lebi) dating menghadap Kyai membawa kitab yang telah diprogramkan. Dab Kyai membaca dan menterjemahkan(secara kata perkata pula), sedang para santri mendengarkan hal-hal penting dari penjelasan Kyai. Dari dua cara di atas, cara yang terakhir inilah yang paling banyak digunakan di pesantren-pesantren. Pada cara kedua itu, intraksi antara Kyai-Santri berlangsung searah.kesempatan bertanya, merdialoh berdebat dan pertukaran fikiran, denga sendirinya menjadi tertutup. Oleh cara-cara pengajaran seperti itu terkesan bahwa ilmu-ilmu yang diajarkan adalah bersifat eksoterik pula. Metode eksoteris-rasional dalam hal ini telah terabaikan. Padahal kebanyakan ilmu-ilmu di pesantre justru lebih memerlukan metode-metode rasional ini. Konsep ‘barokah’ agaknya terlepas dari pemahaman ksoterisme ilmu di atas, adapun yang lain lalu di kembangkan menjadi bagian dari orientasi dan niat para santri. Persoalannya adalah orientasi ‘barokah’ justru lebih dominan dan menggeser orientasi lainnya. Cara-cara diskusi, dialog dan Tanya jawab mungkin perlu dikembangkan. Tentu saja, denag tetap tidak membuang kedua cara yang di atas. Melainkan membaginya atas dasar pertimbangan
          5. Pengembangan Bahasa
          6. Pondok Pondok Pesantren dalam menerjemahkan kitab kuning ke dalam bahasa Jawa, Madura, Sunda ataupun Indonesia mempunyai cara-cara yang khas yang telah lama dibakukan. Penerjemahannya tidak secara bebas menurut inti gagasan dari kitabnya. Melainkan menurut kata perkata dengan simbul-simbul. Seumpamanya “utawi/dining/adapun” dan “iku/panikah/ialah” untuk menunjukkan subyek dan predikat pada sununan kalimat “islmiyyah” (Mubtada’-Khabar), atau “sopo/paserah/siapa” (Fa’il Subyek pada susunan kalimat Fi’liyah/verbal), dan semacamnya. Pembakuan bahasa dan simbul di atas, memang mengandung kelebihan-kelebihan tertentu. Setidak-tidaknya bila kemudian dihubungkan dengan I’rab dan struktur suatu kata. Hal tersebut merupakan perpaduan dua ilmu sekaligus: ilmu gramatika dan ilmu pada kitab yang diterjemahkan itu. Namun begitu, kelemahan yang cukup mendasar tidak bisa terhindarkan yaitu susahnya menangkap gagasan pokok kitab tersebut. Karena terselubungi oleh formalisasi tekstual (kata perkata) yang terlampau kaku. Bagi santri senior, mungkin tidak ada masalah tetapi bagi santri pemula dan menengah jelas merupakan masalah. Lebih jauh lagi, bahkan timbul kesan tentang sakralitas kebahasaan ‘utawi, ‘iku’ dan semacamnya tersebut. Andai kemudian dilacak sebab-sebabnya yang utama, maka didapati adanya kesamaan dengan teks al-Qur’an yang sama-sama disakralisir. Diyakini bahwa kata dan huruf-huruf pada al-Qur’an bukanlah sembarangan, yang tidak berarti dan tidak mencerminkan misteri Irodah Allah. Satu huruf pun pada al-Qur’an adalah bermakna adanya. Maka terlarang lah penerjemahan al-Qur’an secara bebas, benar dan baik menurut kaidah bahasa Indonesia karena besar kemungkinan tidak akan sama persis dengan makna kata dan huruf-hurufnya. Jika pengandaian di atas benar, maka agaknya telah terjadi pelakuan tidak proposional terhadap kitab kuning. Al-Qur’an jelas tidak mungkin dipersamakan dengan kitab kuning, walau hanya sakralitas tekstualnya belaka. Karena itulah, upaya pengembangan bahasa terjemahan kitab kuning bukan suatu kekeliruan. Tentu saja dengan tetap memperhatikan senioritas dan tidaknya anak didik. Kemudian pengembangan bahasa arab ini dapat dilakukan dengan menjadikan bahasa arab sebagai bahasa pengantar dan  komunikasi warga kota pesantren. Hal ini akan banyak membantu penguasaan bahasa arab secara efektif dan pada gilirannya akan banyak bekerja ketika mempelajari linguistik dan sastranya.
             
        • Pengembangan Ilmu-ilmu Alat.
        • Pondok Pesantren memberi rekanan secara khusus terhadap ilmu-ilmu alat (Nahwa-Sharaf), guna mempersiapkan dan memudahkan para santri dalam menekuni ilmu-ilmu keislaman. Baik langsung dari sumber aslinya, yaitu: al-Qur’an dan al-Hadits (melalui kajian-kajian tafsir-hadits), maupun dari padangan dan pemikiran para Ulama/Fuqaha yang rata-rata tertuang dalam kitab kuning berbahasa Arab. Namun berapapun diakui sangat penting, ternyata sering kali dianggap suatu yang menakutkan, karena kesukarannya untuk dicerna. Bahkan tidak jarang, saking sukarnya, para santri pempelajarinya dengan bertahun-tahun tanpa membawa hasil yang patut dibanggakan (bila disesuaikan dengan lamanya belajar). Tidak jarang pula para santri yang hafal suatu kitab alat di luar kepala, tetapi berkesulitan besar dalam mengaplikasikan ke dalam kitab-kitab “Gundul” (tidak berharakat dan tidak ada terjemahannya). Di sini perlu adanya jalan penyelesaian yang terbaik dan bisa memperkecil tingkat dan bisa memperkecil tingkat kesukaran di atas. Barangkali sudah waktunya dilakukan penelitian-penelitian kebahasaaraban dalam rangka mencari cara-cara tersingkat dan memuaskan sebagai alternatif jalan keluar dari problem tersebut. Dalam dunia Pesantren pengenalan ilmu alat cenderung hanya sebatas pengajaran kaidah-kaidah atau hafalan nazam tanpa terlebih dahulu diimbangi dengan penguasaan bahasa arab secara baik dan mapan. Hali ini berdampak kaku dan lamban bahkan cenderung lemah mengaplikasikan ke dalam berbagai kitab gundul, telebih memahami pesan dalam teks bahasa Arab. Kemudian pada pengembangannya ada usulan lain apa yang disebut “metode pintas”. Metode ini banyak dikembangkan oleh yang menamakan dirinya “pesantren modern”, dimana santri hanya diajarkan mengahafal kosa kata sebanyak-banyaknya tanpa dilengkapi atau disempurnakan dengan kaidah-kaidah yang mapan. Metode inipun masih membawa kerugian besar. Sebab metode sepihak inipun membawa kelemahan yang tidak kalah besar, yaitu: seringnya terjadi kesalah pahaman menangkap pesan-pesan bahasa Arab yang sebagiannya justru diungkap melalui perangkatnya (alat). Maka sebagai alternatif tepat guna adalah mengawinkan dua metode tersebut di atas, yaitu sebagai berikut:
          • Memahami “pemilihan kosa kata”, yaitu santri dikenalkan kosa kata bahasa sebanyak-banyaknya melalu penguasaan kamus, praktek membaca dan tela’ah pustaka.
          • Pemahaman kaidah dan fungsi gramatikal atau struktur dasar kata dengan mengajarkan santri kitab-kitab alat dan bahasa yang lengkap bukan ringkasan atau bentuk nazam.
          • Pemahaman hubungan antara pemilihan kosa kata dalam satu struktur bahasa dengan fungsi gramatika, sehingga dapat ditangkap pesan-pesan yang terkandung secara utuh. Hal ini dapat dilakukan dengan memadukan antara ilmu syntaksis (Nahwu) dan smantik (Dilalah).
          • Pengenalan kontek, siyaq (secara bahasa dan non bahasa). Sehingga mampu memahami segala pesan teks secara sempurna, lengkap dengan segala pesan teks cesara sempurna, lengkap dengan segala ungkapan majaz, komparasi dan kinayah lainnya yang menjadi kasus bahasa arab yang lebih unik dan fleksible. Hal ini bisa didapatkan dalam  ilmu balaghah.
          Satu hal yang perlu diperhatikan bahwa sebenarnya ilmu-ilmu alat seperti sharaf, Nahwa, balaghah adalah merupakan kebulatan dari disiplin ilmu yang dinamakan ilmu bahasa, bukan ilmu sendiri dan terpisah, maka itu sebabnya mereka sangat lamban memahami ilmu-ilmu alat ini. Oleh karena itu pendalaman ilmu ini harus langsung merujuk kepada kitab-kitab mushannifnya seperti; kitab Sibaweh, Ibnu Jinni dan lain-lain, dimana mereka belum memisah dimana mereka belum memisahkan disiplin ilmu ini menjadi cabang-cabang ilmu alat. Dan juga jangan terperangkap dengan banyaknya mengkaji kitab-kitab alat yang bersifat ikhtisar, resume, kecil dan nazam, hal ini hanya membawa kelambanan, kedangkalan saja. Sebaiknya dalam pengajaran ini langsung dengan mengenalkan semua kasus-kasus ilmu bahasa sekaligus. Tentunya saja dengan tetap memperhatikan senioritas dan tidaknya anak didik secara proporsional. Sehingga pada saatnya anak didik itu mampu memahami Islam dari sumber aslinya al-Qur’an dan al-Hadits (melalui jaina-kajian tafsiran-hatis), maupun dari pandangan dan pemikiran para Ulama/Fuqaha, yang rata-rata tertuang dalam berbahasa Arab.

      Post a Comment

      0 Comments